Selasa, 28 Februari 2012

Introspeksi Diri

Tak seorangpun mampu melawan Kuasa dan Kehendak Allah. Kalau Allah menghendaki sesuatu, jadi! maka terjadilah. Bencana alam pun terjadi, mulai bencana banjir di Wasior, tsunami di Mentawai, dan bencana gunung merapi di Yogyakarta.
Musibah beruntun itu tidak sedikit memakan korban, baik jiwa, harta dan tempat tinggal. Dan tidak sedikit pula masyarakat yang merasakan dampaknya, dari segi kesehatan, ekonomi, rasa takut dan trauma.
Mencermati peristiwa tersebut, ada sebagian kalangan yang menyorot dari segi ilmiah dan ada juga dari sisi spiritualitas. Dalam hal ini kita ambil sisi hikmah dari kedua pandangan tersebut.
Kalau mencermati dari segi ilmiah, berarti menghajatkan kepada semua komponen bangsa ini untuk meberdayakan ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus menguasainya untuk mengantisipasi bencana yang akan datang, karena katanya negara ini cecara geografis memang rawan bencana.
Mencermati dari sisi spiritualitas, menuntut kita semua untuk introspeksi, apa gerangan kesalahan bangsa ini, sehingga Allah menimpakan musibah yang beruntun? Apakah bangsa ini memang sengaja mengundang kemurkaan Allah?
Setiap musibah, adakalanya sebagai ujian bagi orang beriman dan saleh, ada kalanya sebagai teguran, agar kita semua kembali ke jalan Allah, ada kalanya sebagai azab dari Allah. Semua itu menunjukkan kemahakuasaan dan qahharnya Allah, dan sekaligus menunjukkan Maha Pengasih dan Penyayangnya Allah kepada hambaNya. Dan menunjukkan bahwa kita hambaNya yang begitu lemah dan selalu berhajat kepada Allah.
Allah yang menimpakan musibah sebenarnya sudah memberikan solusi, namun, mungkin kita sudah melupakannya. Apakah itu? Istighfar. Ya, Indonesia harus beristighfar. Simaklah Firman Allah di bawah ini,
“Tetapi Allah tidak akan menghukum mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan menghukum mereka, sedang mereka (masih) memohon ampunan”. (Q.S Al Anfal :33)

Dikutip dari : Celoteh Anak Rumput – Seri 1, Haderi Idmukha

Jumat, 24 Februari 2012

Terminal Ruhiyah


Sometimes I need some time On my own 
Sometimes I need some time All alone 
Everybody needs some time On their own 
Don’t you know you need some time All alone. Gun n’ Roses

Pernahkan anda mengalami hidup anda begitu kacau? Semuanya terasa serba salah. Badan terasa sakit semua padahal anda tidak melakukan aktivitas yang berat. Rasanya ingin marah kepada semua orang yang anda temui, padahal mereka tidak melakukan kesalahan apapun!
Itu salah satu tanda bahwa jiwa kita sedang lelah. Kelelahan jiwa bisa disebabkan oleh banyak hal; permasalahan yang tak kunjung usai menerpa anda, tubuh anda yang sakit dan sehingga anda tidak bisa melakukan aktivitas apapun, tekanan pekerjaan dan sebagainya.
Saya pernah membaca sebuah buku, yang mengatakan bahwa itu tanda kita sedang jauh dari Allah SWT. Kita mungkin telah meninggalkan ibadah-ibadah sunnah yang kita anggap sepele, seperti dzikir pagi dan petang, rutin membaca al-qur’an dan yang paling penting mungkin kita sudah jarang berqiyamul lail - sholat malam, untuk sekedar menyendiri bersama Allah.
Sahabat semua, kalau anda pernah membaca bukunya Covey 7 Habits, dia menyebutkan tentang kebiasaan ke 7 - sharpen the saw: mengasah gergaji - terlepas anda setuju dengan konsepnya - tapi saya kira ada baiknya kita renungkan saran Covey agar kita seimbang dalam menjalankan kehidupan kita, baik secara material, emosional, sosial dan spiritual.
Ada banyak cara untuk mengasah gergaji kita. Saya secara pribadi suka jalan-jalan ke perbukitan di sekitar tempat saya tinggal sendirian dan menyaksikan pemandangan dari atas sana - ah sekarang agak susah soalnya buntutnya sudah 3 jadi mesti ngajak mereka - di keheningan itu, di atas bukit yang anginnya sejuk, saya melihat di bawah sana semuanya jadi kecil. Ya, betapa urusan dunia kita sebenarnya kecil, tidak seberapa dibanding luasnya kekuasaan Allah atas alam semesta ini. Dan betapa yang membuat jiwa kita merasa aus dan terbakar habis (burn out) tidak lain kerena hampir seluruh waktu kita habis untuk kepentingan dunia yang fana ini.
Dengan menyadari betapa kecilnya kita di antara luasnya kekuasaan Allah SWT akan membuat kita tergetar dan akan mengalirkan energi baru yang akan memberikan kita pemahaman ulang bahwa tidak ada sedikitpun campur yang terjadi di dunia ini tanpa campur tangan-Nya. Saya jadi ingat seorang teman bule saya dari Australia, yang pernah bilang: “I’m not too religious, and I don’t know why the students here is taught regilious practice in their subjects…”
Tetapi ketika suatu saat dia menghadapi masalah yang cukup rumit baginya, dan dia tidak tahu jalan keluarnya. beberapa hari berikutnya dia ketemu saya dan berkata,
“I have known the answers. For sometimes, I didn’t know what should I do. But yesterday I realized. I took all the problem to God. I said, God, you know what should I do, give me a hand…”
Ya, kita sering melupakan Allah dalam kehidupan kita, dan membutuhkan-Nya ketika kita sudah merasa tak berdaya dengan hidup dan permasalahan kita. Tetapi Allah Maha Baik, dan tidak pernah menyia-nyiakan kita ketika kita kembali kepada-Nya, walau setiap hari kita mungkin mencampakkan-Nya.
Untuk itu tidak akan pernah rugi ketika kita mau melakukan re-charge kekuatan jiwa kita dengan memanfaatkan sepertiga malam yang terakhir untuk sekedar mengadukan kelemahan kita, untuk menghitung ulang apa yang telah kita lakukan, dan yang paling penting untuk mendapatkan “tangan ajaib” yang membimbing kita melakukan hal yang tepat untuk hidup kita.
Tentu mengasah gergaji tidak hanya pada jiwa kita, mata gergaji lain juga perlu kita asah. Tubuh kita punya hak untuk sekedar diistirahatkan, punya hak agar dia bisa bekerja dengan optimal sesuai fungsinya, olah raga dan makanan yang halalan thayyibah adalah batu asahannya.
Pikiran kita juga perlu diasah dengan memberikan nutrisi berupa bacaan-bacaan yang bermutu, yang akan menjadikan landasan teori kita dalam berbuat. Karena seorang ulama pernah berkata, Ahli ilmu yang sedikit ibadahnya lebih baik, daripada ahli ibadah yang tidak berlimu. Ya, pemahamanan sebelum melakukan tindakan adalah akan menghasilkan sesuatu yang berbeda daripada kita melakukan sesuatu tanpa tahu tujuannya.
Terakhir untuk mengasah mata gergaji kepekaan sosial kita, maka caranya adalah dengan banyak melibatkan diri kita melakukan aktivitas sosial. Ada banyak aktivitas sosial yang bisa kita lakukan, dari sekedar membersihkan lantai masjid yang kotor, ikut kerja bakti sampai melakukan pendampingan bagi anak-anak jalanan.
Semua aktivitas mengasah gergaji itu ibarat pemberhentian sesaat yang perlu kita lakukan setiap saat, karena itu adalah kebutuhan kita. Ibarat dalam balapan mobil, setiap sekian kali putaran kita perlu sejenak untuk mengecek ban kita dan mengencangkan skrup bagi mobil yang akan kita kendarai. Kalau tidak, maka bukan garis finish yang kita capai, tetapi bisa-bisa mobil kita yang terbakar di tengah-tengah arena.
Semoga bermanfaat bagi saya dan anda, dan yang lebih lagi semoga kita diberikan kekuatan Allah SWT untuk melakukan hal itu.
****
dikutip dari buku : Nutrisi Jiwa #1: Pit Stop, Heri Mulyo Cahyo

Selasa, 21 Februari 2012

Karakteristik Orang-Orang Yang Memiliki Kesungguhan Tingggi (Himmah 'Aliyah)

Pertama :
Orang yang memiliki kesungguhan tinggi itu tidak akan melemah atau hilang tekadnya.
oleh karena itu, ketika kamu telah meletakkan sebuah tujuan di hadapanmu, janganlah kamu meninggalkannya sampai kau dapat mewujudkannya. sekalipun untuk mewujudkannya kamu harus menghadapi berbagai macam kesulitan.
Kedua:
Orang yang memiliki kesungguhan tinggi tidak akan rela jika tidak mendapatkan apa yang ditujunya. Tidak akan merasa senang, kecuali jika ia mengerjakan hal-hal yang penting dalam rangka mengejar tujuannya. oleh karena itu, jika kamu menjadikan surga sebagai tujuan, maka janganlah sekali-sekali kamu merasa senang kecuali jika kamu dapat masuk kedalamnya walau bagaimanapun keadaannya.
Ketiga:
Orang yang memiliki kesungguhan tinggi akan mengorbankan jiwa dan segala yang berharga untuk mendapatkan tujuannya dan mewujudkan cita-citanya.
karena ia tahu bahwa kemuliaan itu tergantung pada penghalang-penghalang yang merintanginya. Dan sesungguhnya kebaikan tidak akan didapat kecuali dengan merasakan kesulitan. Dan tujuan tidak akan tercapai kecuali dengan melewati jembatan kesulitan.
bukti kesungguhan yang tinggi adalah upaya membangun kemandirian dan tidak bergantung pada upaya orang lain.
Apabila kamu mengira bahwa situasi telah mengalahkanmu, maka ingatlah bahwa seglala sesuatu itu akan merasa ringan jika dilakukan karena Allah SWT . Sehingga kamu akan merasa ringan menghadapi berbagai kesulitan dan mampu mengatasinya.
Keempat:
Orang yang memiliki kesungguhan tinggi itu merasa kuat, percaya diri, dan berani ketika melangkah menuju tujuan yang telah ditetapkannya. Tentunya dengan berbekal ilmu yang menakutkan dan memandang ringan.

Rabu, 15 Februari 2012

Rumah Cermin

Suatu hari seorang anak kecil yang masih belajar jalan masuk ke rumah ini tanpa sengaja. Anak ini pemberani dan penuh antusias. Di dalam rumah itu, ia mendadak melihat seribu anak kecil muncul di dinding. Ia tersenyum. Dan wah, seribu anak kecil senyum. Tersenyum kembali ke padanya. Ceria, cakep. Anak ini senang sekali. Ia tertawa, dan semua seribu anak-anak tertawa bersamanya. Tidak tahu bawa itu cermin, dan itu sebenarnya wajahnya.
Ketika orangtuanya menggendongnya pulang, ia terus menengok ke rumah ajaib itu dengan senang. Betapa menyenangkan rumah itu. Seribu anak tersenyum dan tertawa bersamanya. Ceria, cakep.
Beberapa waktu kemudian, seorang anak kecil lainnya tidak sengaja masuk ke rumah ajaib ini. Anak ini penakut. Di dalam rumah mendadak ia melihat seribu anak kecil. Anak ini merengut. Dan seribu anak merengut kepadanya. Ia mendelik, dan seribu anak ikut mendelik. Cemberut, jelek. Maka menangislah anak ini keras-keras. Seribu anak pun ikut menangis. Tidak tahu bahwa itu cermin, dan itu sebenarnya wajahnya.
Ketika orangtuanya menggendongnya pulang, ia tidak mau melihat ke rumah itu. Trauma. Betapa mengerikan rumah itu. Seribu anak mendelik dan membencinya. Cemberut, jelek.
Ah, kita lupa dunia itu seperti itu. Wajah orang lain adalah cermin. Bila kita cemberut padanya, ia cemberut balik. Tapi bila kita tersenyum pada dunia dan berbagi antusias, ia tersenyum balik dan menyambut kita dengan gembira. Dan betapa menyenangkan dunia ini jadinya.
(Ditulis ulang dari folklore Jepang, dari blog tetangga)